Seorang Ibu dan Anak Berkebutuhan Khusus – Siang ini cuaca sangat terik. Keganasan musim
panas sedikit demi sedikit mulai tampak. Tak terkecuali di kota tempatku
tinggal, kota Tangier, Maroko Mizyan. Meski demikian, hakikat musim
panas dengan suhunya yang ekstrim tak bisa betul – betul hidup di kota ini. Maklum
saja, kota Tangier terletak di ujung paling utara negeri. Letak geografisnya
yang berada di tepi Laut Mediterania dan banyaknya pepohonan hijau nan rindang
membuat suasana sejuk, laiknya di Indonesia.
Medina Qadima – sebutan kota lama, pada hakikatnya setiap kota di Maroko
mempunyai sebutan kota lama dan kota baru, kali ini saya mencoba
menjelajahinya. Meskipun sudah begitu sering, namun tak ada salahnya menjelajah
lagi di tengah jeda aktifitas kuliah yang begitu lama. Pun jika hanya sekedar
berdiam diri ataupun do something di rumah tentu jiwa ini akan jenuh
dengan sendirinya.
Waktu dzuhur masih sekitar satu jam lagi. Suasana kota masih belum
begitu ramai. Di Maroko, apalagi saat musim panas begini, yang mana waktu malam
begitu singkat, mereka lebih banyak beraktifitas di sore hingga malam hari. Sedangkan
waktu pagi hingga siang biasanya mereka baru beristirahat. Maka jangan heran
jika di pagi hari hingga minimal jam 10 pagi, kita jarang menjumpai toko – toko
maupaun restoran yang sudah buka. Kecuali instansi pemerintahan, pendidikan
maupun perkantoran, maka aktifitas berjalan menurut waktu normal.
Tampak orang – orang berjalan di sekitaran kota lama. Satu dua
pertokoan mulai buka. Paling banyak adalah toko buah – buahan, sayur mayur
serta aneka daging. Taksi sesekali melintas. Lebih banyak mobil pribadi yang
terparkir rapi di tepi jalan.
Saya berjalan masih menyusuri kota lama yang tak begitu luas ini. Di
sebelah atas terdapat kawasan rimbunan pohon dan taman hijau. Lokasinya agak ke
atas. Dari sini pemandangan setengah kota lama terlihat eksotis. Tak terkecuali
Laut Mediterania serta pelabuhan penghubung Afrika – Eropa. Suasana pantai
meskipun agak jauh namun masih terlihat jelas, di sana banyak orang yang
bermain air, berjemur maupun sekedar menghabiskan waktu luang.
Aku duduk di dekat taman hijau nan rindang. Sedikit menahan lelah
dan terik akibat 90% perjalanan yang segera ku sudahi. Sambil melihat orang
melintas, kendaraan berjalan, anjing tertidur pulas, serta tiupan angin yang
menetralkan suasana.
Oh, di samping saya ada seorang ibu berjalan pelan kemudian
terduduk. Usianya ku taksir lebih dari enam puluh tahun. Taksiranku ini
bertendensi atas cara berdirinya yang tak setegak wanita usia empat puluhan. Ia
tak sendiri. Ia menemani seorang putranya yang ku taksir usianya di atas 20
tahun. Ku amati, si anak bertubuh tinggi namun kurus. Sangat kurus. Dan, ohhh. Ada
yang berbeda darinya. Tampaknya dia seorang anak berkebutuhan khusus.
Sang ibu kuperhatikan menyuapkan sebungkus roti bolu. Si anak
menggeleng dengan pandangan yang tidak beraturan. Si ibu dengan lembut
memposisikan roti di depan mulut. Dengan terpaksa, sang anak pun membuka
mulutnya. Hanya sekali gigit, ia kemudian menggeleng lagi. Sapu tangan
diusapkan untuk membersihkan mulutnya.
Sebuah yogurt kemasan gelas kemudian dibukanya. Kali ini si anak
membuka mulutnya tanpa menolak. Ia minum perlahan yogurt itu dengan gelas yang
dipegang oleh sang ibu. Sedikit tertumpah, diusaplah dengan sapu tangan. Sang ibu
agak rileks, menoleh ke samping, melihat apa yang melintas maupun kesejukan
yang menetap. Sesekali posisi topi si anak dibetulkan. Kali ini yogurt itu
dihabiskan sempurna.
Usai itu, sang ibu berdiri kemudian si anak ditariknya perlahan. Dengan
posisi berdiri yang sudah tak tegap lagi, sang ibu menggandeng anaknya berjalan
pergi. Pelan. Sangat menjaga. Kemudian pergi. Kemudian saya merenung.
Duhai... Betapa besar kasih seorang ibu. Kata – kata ibi
bukan dibuat – buat, namun nyata adanya.
Seorang ibu yang usianya bisa dibilang tinggal menikmati hasil mendidik
anaknya, yang seharusnya tinggal menikmati hasil kerja anaknya, yang seharusnya
mendapat penjagaan dari anaknya, namun ia justru rela tetap memberikan itu
semua kepada anaknya. Tetap memberlakukan anaknya sebagaimana saat ia balita.
Anaknya kan memang berkebutuhan khusus, jadi wajar sang ibu berlaku
demikian. Bukan ini poin yang
saya maksud. Justru dari sini saya bisa simpulkan betapa tulus budi baik
seorang ibu. Ia bahkan tak mengharap balas budi apapun. Ia hanya ingin
menyayangi, menyayangi dan menyayangi anaknya. Tak ingin anaknya kelaparan,
kehausan, kepanasan. Ia ingin benar – benar menjaga anaknya, yang meskipun
secara usia sudah dewasa. Ia tetap mencurahkan kebaikannya meskipun ia yakin,
anaknya tak bisa memberikan balasan kelak. Dan kita tetap patut bersyukur atas
segala kehidupan normal dalam diri kita. Karena potensi untuk berbakti terbuka.
Setiap anak adalah anugrah sekaligus titipan. Sebetapapun kondisi
sang anak, harus diterima dengan baik sebagai titipan Tuhan. Tentu saja
seberapa berat bentuk titipan itu untuk diterima, sebesar itulah pahala
mengalir deras.
Sebagai anak, sudah selayaknya kita tidak menyia – nyiakan kasih
sayang orang tua, terutama ibu. Sudah selayaknya hati kita bergerak untuk
membahagiakan mereka dengan cara yang kita bisa. Dan kebahagiaan hakiki orang
tua dari anaknya adalah, melihat anaknya shaleh serta senantiasa mendoakannya.
Untuk kisah inspiratif maupun informasi penting dan menarik
lainnya, silakan jelajahi peta situs di sini
0 Response to "Seorang Ibu dan Anak Berkebutuhan Khusus"
Post a Comment